Muhrim atau Mahram?


Bismillah

Ilustrasi :

Disebuah kelas, di salah satu kampus gak terkenal di Bogor. Ada seorang mahasiswa cowok yang genit dan sok keren yang sukanya godain cewek. Namanya Oji. Seperti biasa setiap hari  hobinya si oji itu godain temen-temen cewek di kelasnya, sampe temen-temen ceweknya itu suka menjerit jerit karena si oji suka toal toel keganjenan. Saat ini yang jadi korbannya adalah si Nani. Gak rela dideketin sm si oji, Nani  pun ngejerit sambil maki-maki : “Najiis..Sumpeh deh lo..kita bukan muhrim..gak boleeehh tau..”

Si oji ini pun terkekeh kekeh njawab sambil tambah deket sama si nani : ” Eh eh eh ..emang koq bukan muhrim, kan kita gak lagi haji..Sini dong nani sayang…”

Si Nani pun ngibrit keluar kelas sambil ngejerit jerit : ” Ahh..mamih..ada orang gila…”

=============

Hahaha…pernah gak sih kita menyaksikan adegan seperti itu? Atau anda yang cewek pernah menjadi nani..atau bahkan anda yang cowok suka jadi si Oji yang genit dan ganjen? 😀

Nah kalau kita perhatikan dengan baik, apa yang salah dari kata kata yang ada di ilustrasi diatas? Ahaa..coba perhatikan kata yang saya cetak tebal. Muhrim? Yap..Kata ini sudah familiar di telinga kita tapi sesungguhnya sering dalam penggunaannya tidak tepat dan pas dengan momentum pengucapannya.

Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Nah jadi jawaban si Oji diatas adalah bener..pantas aja si Oji tambah berani. Karena si Oji tau bahwa muhrim yang dimaksud si nani gak pas maknanya. Haha mungkin si Oji udah pernah belajar bahasa di Pondok, tapi berhubung di Pondok dia gak suka ngeliat cewek, jadilah pas keluar dari pondok dia jadi lapar en kegenitan. Alah..sudahlah lupakan teman saya si Oji ini.

Lalu..apa yang seharusnya kita katakan ketika ada scene seperti ini? jawabannya adalah ” Maaf..kita bukan mahram..” mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.

Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.

Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).

Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7. Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)

Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas),

keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.

Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)

Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.

Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.

Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.

Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.

Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ

“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)

Nah nah nah mari kita gunakan bahasa arab yang baik dan benar..supaya maknanya pas gitu loh 😀

Terima kasih semoga bermanfaat

Kalau artikel ini bagus mohon bantu rate ya gan..

Sumber penjelasan dari sini

124 thoughts on “Muhrim atau Mahram?

  1. iyyaaaa benernya mahram bukan muhrim.. waktu itu pernah d kasi taw guru ngaji. eh di ingetin lg d sini.. sesama cewe kan mahram, brati qta mahram dong, tanteee

  2. salah kaprah berbahasa…
    kaya kalo lebaran ada ucapan “minal ‘aidin wal faizin..” yang biasanya dibarengin sama ucapan “mohon maaf lahir dan bathin..” Banyak yg nyangka kalo itu adalah arti dari ucapan sebelumnya.. *halah beribet nulisnya*

    moga aja kang ian ngerti. wkwkwkwkwkwk

    • betul gan..
      nah itu juga salah satunya..padahal ada do’a lagi yang lebih shahih daripada mengucapkan itu yaitu taqabalallahu minna wa minkum 🙂
      insya alloh mengerti..
      makasih ^^

  3. Maaf, ini pertanyaannya mungkin agak keluar jalur..
    Ketika Ibu Mertua meninggal, Bapak sempat hendak mencium jenazahnya setelah dimandikan, tapi ada sodara yang protes karena katanya bukan muhrim..
    Itu sebenernya gimana hukumnya Kang ?
    Makasih sebelumnya yah…

    • wallahua’alam..
      kalau masih hidup jelas2 gak boleh..
      kalau udah meninggal saya kurang faham nanti saya tanyakan
      tapi lebih baik tidak melakukannya
      yang ada adalah mendo’akannya bukan mencium kening dsb
      wallahua’alam…
      makasiih..

  4. waktu di SMA saya belajar tentang hal iini pada Pelajaran Agama Islam
    terima kasih telah mengingatkan kembali
    manusia tempatnya lupa jadi harus belajar berulang ulang

    makasih Kang Ian.. sangat bermanfaat

  5. Ya yang sering2 posting about “Lughotul Arabiyah” kang, biar saya sebagai orang awam ni sedikit lebih mengerti. Ana La ‘arif ma-dza tatakallam…:)

  6. Pingback: de Go Blog

  7. Oh…saya baru tahu nih. Berarti selama ini saya sering salah kaprah tentang arti dari muhrim tsb krn saya juga cuma mengatakan apa yang sering orang2 katakan tanpa tahu arti yang sebenarnya. Trims atas penjelasannya

  8. swip swip swip :mrgreen:
    waktu itu QK gtau loh kalo ternyata meskipun seorang istri telah bercerai dengan suaminya tapi keluarganya itu masih tetap sebagai mahramnya selamanya…
    bapak mertua ibu mertua… :mrgreen:

    HIDUP!!! ^_^

  9. HHmmmm …
    Jadi selama ini kita salah ya …
    Saya juga seringnya mendengar … “Maaf bukan Muhrimnya …”
    yang betul adalah … “Maaf bukan mahramnya ”

    Terima kasih Infonya Kang Ian

  10. Assalamu’alaikum,

    Kakara ngurunyung deui yeuh ka Kang Ian.
    Soal perubahan makna dari suatu istilah asing sangat sering terjadi. Tapi seharusnya kita mengetahui betul istilah yang tepat, terutama dalam istilah agama. Kang Ian masih kuliah kan ? Coba dalam bahasa Arab kuliah itu artinya apa ? He he…

    Nuhun ah.
    Wassalamu’alaikum.

    • wa’alaikumussalam warrohmatullah
      haha aduh aya pak aziz alhamdulillah tiasa amengan ka dieu nya..
      haha pak aziz anu langkung uninga ti simkuring.. di kuliah mah teu diajarkeun basa arab 😀

      • Maksudnya begini, kata “kuliah” itu kan dari bahasa Arab, tapi dalam bahasa Indonesia artinya berubah. Padanan kata kuliah kan sama dengan lecture, padahal dalam bahasa Arab mah bukan itu artinya.

        Tos heula ah.
        wassalam

  11. Idih, kesian bener tuh cowok, dia dibilang ‘gila’….tapi….pantes juga sih….
    Nah, para cowok, hati2 jgn sampe dibilangin gila lho….ntar jd gila beneran….Makanya jgn genit n yg cewek jgn mancing….

  12. yang jelas kalo nyolek-2 kayak oji, HARAM,..
    🙂
    ——————————————–
    curcol dikit ah, ada tetangga deket rumah cakep deh..
    tapi sayang sejak aku SMP ibuku bilang “jangan suka ama ‘si itu’ ya, dia saudara susu kamu”..
    jiah, nasib,..
    😛

  13. assalamu’alaikum.. lama saya ga mampir nih,, postingannya apik.. memang stidaknya kita harus paham apa yang kita utarakan agar istilahnya punya arti jelas,, ngga ASbun,, Asal Bunyi.. ^^

    • Wa’alaikumussalam

      Mahram dari jalur pernikahan ada 4 golongan:

      Anak laki-laki suami (anak bawaan) dan anak laki-laki dari anak laki-lakinya dan anak laki-laki dari anak perempuannya meski pun jauh ke bawah.
      Bapak suami dan kakeknya apakah dari jalur bapak si suami atau dari jalur ibunya meskipun jauh ke atas.
      Suami anak perempuan si wanita dan suami anak perempuan dari anak lak-laki si wanita dan suami anak perempuan dari anak perempuan si wanita meski pun jauh ke bawah.Tiga golongan ini menjadi mahram bagi wanita dengan sekedar dilangsungkannya akad dengan si wanita meskipun langsung dicerai sebelum khalwat dan berhubungan.
      Suami dari ibu si wanita (bapak tiri) dan suami dari nenek si wanita (kakek tiri) meski pun jauh ke atas. Sama saja apakah nenek si wanita tersebut dari jalur bapak atau dari jalur ibu. Akan tetapi mereka tidak menjadi mahram bagi si wanita kecuali dengan berhubungan (campur) dalam pernikahan yang sah. Maka apabila seorang wanita menikah kemudian dicerai sebelum berhubungan (campur) laki-laki tersebut tidak menjadi mahram bagi anak perempuan si wanita meski pun anak perempuan tersebut jauh ke bawah.

      Wallahua’lam

  14. trus kenapa banyak yang bilang kalau istri atau suami itu muhrim……………… sampai sampai setelah wudlu mereka berpegangan dan di bilang katanya gak batal wudlu nya. lucu kan……………………………..

    • secara fiqh istri atau suami memang bukan mahram, karena istri dan suami adalah pasangan yang sudah halal..tapi memang ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa Nabi bersentuhan bahkan mencium istrinya sehabis wudhu ketika akan sholat dan Nabi tidak bilang bahwa itu membatalkan wudhu, jadi batal atau tidak maka kita merujuk kepada keterangan yang ada dan shahih dari Rasulullah..wallahu’alam..

  15. istri atau suami itu tetap membatalkan wudlu di antara keduanya karna mereka itu bukan muhrim. kalau di bilang muhrim kenapa di nikahi, ya kan. banyak sekali orang salah paham kalau istri dan suami itu di bilang muhrim. pas di tanya muhrim itu apa, mereka tidk bisa jawab.

    • hendaknya disebutkan dalilnya mas kalau memang istri atau suami itu tetap membatalkan wudlu di antara keduanya..yang benar kan mahram bukan muhrim ^^ makasih..

  16. kang ian,

    atau mungkin kalau sudah menjadi suami-istri, maka si istri menjadi mahrom suami-nya. sebab dalam hal bepergian, wanita harus ditemani mahrom-nya, itu termasuk suaminya.

    dan seperti yang disebutkan kang ian, Rosululloh mencontohkan bahwa memegang tangan dan mencium kening tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu, itu juga tanda2 bahwa istri adalah mahrom buat suaminya.

    namun dalam konteks hak dan kewajiban suami istri, itu menjadi lain lagi karena di dalamnya berlaku hukum nikah untuk keduanya.

    wallohu ‘alam

  17. Maaf jd gmn ya..? jawabannya..?
    kalau istri tersentuh suami sebelum sholat baik di sengaja/tidak tanpa pengahalang itu batal / tidak ?
    mohon bantuannya..

  18. Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669 dan juga lihat hal.614).

  19. Saya punya ank laki2
    Dan ank saya di susui oleh neneknya (ibu mertua sayA )
    Apa boleh hal tersebur terjadi

  20. Kang ian, salam kenal sebelumnya yaa..
    Mau tanya bolehkaan yaah.. bolehlaahh *maksa*
    Pernah saya denger obrolan begini:
    A: jgn colek2 dulu. Belom nikah kan? Belom mahramnya. Belom halal tauk!!
    B: yee, udah nikah juga tetep bukan mahram kaliii..

    Pertanyaannya, jadi sebutan buat suami atau istri itu apa dah kalo bukan mahram-nya?

    *brb* *semoga kang ian ngerti* 😁

Leave a reply to QQ Cancel reply