Tauhid dan Pembagiannya


Bismillah

Tingkat kesadaran ummat islam saat ini tentang pentingnya ilmu dinul islam menyebabkan kita banyak beragama dengan cara yang keliru. Contohnya saja dalam masalah ibadah, kebanyakan muslimin malah mendahulukan berbagai macam bentuk ibadah yang hukumnya sunnah ( maksudnya, sunnah dalam pengertian fiqh. Dikerjakan mendapatkan pahala kalau tidak dikerjakan tidak apa-apa ) daripada yang wajib. Tapi sebenarnya itu lebih baik, karena ibadah sunnah itu ada tuntunannya dibandingkan dengan amalan-amalan yang tidak jelas asal-usulnya.

Dan banyak dari ummat islam yang mendeskripsikan islam dengan ibadah yang  hanya berbentuk amalan fisik seperti sholat, shaum, zakat, haji dan lain-lain. Semua amalan ini memang termasuk rukun islam yang telah Alloh syariatkan kepada kita. Tapi sudahkah kita tahu amalan apa yang paling besar sebelum semua amalan itu?

Yup. Kita ternyata telah melupakan Rukun Islam yang pertama kita yaitu Kalimat Syahadat. Sebenarnya kalau tanpa pemaknaan yang dalam, rukun islam yang pertama ini kelihatannya mudah sekali. Tapi dibalik itu sebenarnya terkandung makna dan hikmah yang besar bagi kita.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسَةٍ: عَلَى أَنْ يُوَحَّدَ اللهُُ، وإِقَامِ الصَّلاَةِ، وإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَالْحَجِّ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Islam dibangun atas lima rukun: Allah Subhanahu wa Ta’ala ditauhidkan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no.8, Kitabul Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum, dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 16, Kitabul Iman, Bab Bayani Arkanil Islami wa Da’a`imihil ‘Izhami. Lafadz ini milik Al-Imam Muslim. Juga diriwayatkan oleh Al-Hafidz Al-Mizzi dalam kitabnya Tuhfatul Asyraf bi Ma’rifatil Athraf (7047) menggolongkannya hadits ini dalam hadits-hadits yang Al-Imam Muslim menyendiri dalam periwayatannya.

Mengapa begitu? Karena kalimat syahadat merupakan kalimat tauhid. Adapun makna tauhid, secara bahasa diambil dari kata:

وَحَّدَ الشَيْءَ إِذَا جَعَلَهُ وَاحِدًا

Maknanya: mentauhidkan sesuatu, jika menjadikannya satu.
Hingga secara syariat Tauhid itu bermakna: Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segala sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya, baik pada perkara Rububiyah, Uluhiyyah, maupun Al-Asma` was Shifat.

Sudah menjadi perkara yang diketahui di kalangan ahlul ilmi –dahulu maupun sekarang– bahwa tauhid yang diseru oleh para rasul adalah tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) bahwa ibadah itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah dengan cara yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Demikian pula tauhid yang mengandung itsbat (penetapan) terhadap apa-apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya, berupa nama dan sifat-sifat-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ

Sesembahan kalian adalah Sesembahan Yang Maha Esa, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163)

Nah banyak dari kita yang terlupakan dalam perkara amalan ini. Tapi justru tanpa tauhid, semua amalan kita akan sia-sia. Karena betapa banyak dari kita yang menyandarkan semua amalannya kepada ruh-ruh nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Justru ini adalah perkara yang batil karena semua ibadah kita, haruslah kita sandarkan kepada Alloh subahanahu wa Ta’ala tanpa terkecuali.

Mau kita cape-cape ibadah juga kalau niat kita tidak ikhlas dan tanpa niat semata hanya untuk Alloh, Ibadah kita tak akan sampai pahalanya. Jadi penting sekali disini untuk kita tahu apa itu tauhid sebelum mengetahui perkara-perkara ibadah yang lainnya.

Pembagian Tauhid Menurut Ahlus Sunnah
Terdapat perbedaan dalam pembagian tauhid oleh para ulama. Ada yang membagi menjadi tiga pembagian:
1. Tauhid Ar-Rububiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (beriman bahwa Ia adalah Dzat Yang Esa) dalam perbuatan-perbuatan-Nya (penciptaan, perintah, pemberian rizki, pengatur urusan atas hamba-hamba-Nya) dengan kehendak-Nya, berdasarkan ilmu dan kekuasaan-Nya.
2. Tauhid Al-Uluhiyyah. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan para hamba (seluruh jenis ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya Dia yang berhak diibadahi, dan tidak ada sekutu bagi-Nya).
3. Tauhid Al-Asma` was Shifat. Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menetapkan nama yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menetapkan sifat yang telah Ia tetapkan untuk diri-Nya, atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya, tanpa mentakyif (mereka-reka atau menanyakan bagaimana), menyerupakan, memalingkan (baik lafadz maupun makna) dan tidak pula menta’thil (menolak, meniadakan).
Ada pula yang menambahkan sehingga menjadi empat:
1. Tauhid Ar-Rububiyah
2. Tauhid Al-Uluhiyyah
3. Tauhid Al-Asma’ was Shifat
4. Tauhid Al-Mutaba’ah (menjadikan satu-satunya yang diikuti dan diteladani adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ada pula yang membagi dua:
1. Tauhid fi Al-Ma’rifat wal Itsbat (tauhid dalam mengenal dan menetapkan) yaitu mengimani nama-nama Allah, sifat-sifat dan Dzat-Nya. Juga mengimani penciptaan, pemberian rizki, dan pengaturan urusan hamba-hamba-Nya. Sehingga tauhid ini mengandung dua jenis tauhid, Rububiyah dan Asma` wash Shifat.
2. Tauhid fi Al-Qashd wa Ath-Thalab (tauhid dalam tujuan dan meminta). Maknanya adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam tujuan (niat) permintaan, shalat, puasa, dan seluruh ibadah. Tidaklah engkau bermaksud dengan ibadahmu kecuali wajah-Nya. Demikian pula sedekah dan seluruh amalanmu yang engkau dengannya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah ditujukan kecuali mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembagian ini disandarkan kepada Ibnul Qayyim, sebagaimana tersebut dalam kitab Madarijus Salikin dan Ijtima’ Al-Juyusy. Demikian pula Ibnu Abil ‘Izz dalam kitabnya Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.
Tauhid Al-Uluhiyyah juga mempunyai beberapa nama lain: Tauhid fil Qashd wat Thalab, Tauhid fil Iradah wal Qashd, At-Tauhid Al-Qashdi wal Iradi, At-Tauhid fil Iradah wal ‘Amal, Tauhidul ‘Amal, At-Tauhid Al-‘Amali, At-Tauhid Al-Fi’li, At-Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi.
Demikianlah macam-macam tauhid. Tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lain. Istilah dan ungkapan yang berbeda dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Tujuan kita hanyalah untuk mengetahui apa itu tauhid yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, dan karenanya terjadi pertentangan antara para rasul dengan umatnya, yaitu tauhid ibadah (Tauhid Al-Uluhiyyah).
Pembagian ulama dalam hal ini tidaklah dikategorikan kepada perkara yang bid’ah (baru), yang tidak dikenal oleh para sahabat. Di antara alasan yang menjadikan para ulama untuk membagi tauhid adalah adanya pengikraran terhadap salah satu jenis tauhid oleh orang-orang musyrikin yaitu Tauhid Ar-Rububiyah. Sehingga bagi siapapun yang telah mengikrarkan tauhid tetapi hanya sekedar Tauhid Ar-Rububiyah, tidakah dianggap menjadi seorang yang telah menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak kepada selain-Nya, berdoa hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya, berharap dan takut hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kepada selain-Nya.
Demikian pula berdasarkan pengkajian dan pendalaman terhadap Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, didapatkan pembagian tauhid seperti tersebut di atas.
Beberapa perkara yang menunjukkan pentingnya penekanan dakwah kepada tauhid adalah:
1. Al-Qur`an dari awal surat hingga akhirnya berisikan tauhid.
2. Tauhid merupakan dakwah seluruh rasul dari yang awal hingga yang terakhir.
3. Banyaknya kesalahan dan penyimpangan yang terjadi pada manusia secara umum adalah dalam perkara tauhid.
4. Mulianya ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari. Tauhid adalah ilmu yang mempelajari pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik berupa nama, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian tidak diragukan, tauhid merupakan ilmu yang paling mulia.
Wallahu a’lam.

Sumber dari sini dan disunting oleh Kang Ian

21 thoughts on “Tauhid dan Pembagiannya

  1. oke, maafkan spam yg sebelumnya 😛

    sekarang saatnya komen yg serius.

    makasih ilmunya gan.
    tidak saya fastreading lho 😉

    emang pengajaran tauhid itu penting banget.
    apalagi untuk orang yg Islamnya baru sebatas KTP.

    btw, saya agak bingung dengan pembagian2 tauhid.
    hmmmm 😕

  2. kebanyakan dari kita itu cuma “untung” terlahir dari keluarga islam yang paatinya akan turun juga ke kita anak-anaknya sebagai seorang islam. Bayangkan para muallaf yang harus berjuang keras demi mengucapkan dan menegakkan kalimat tauhid baru diperkenankan mengganti label menjadi seorang muslim seutuhnya…

  3. Perjalanan keislaman yg diajarkan oleh rosulullah dimulai dari tauhid.Betapa pentingnya tauhid ini, namun jarang dibahas….yg biasanya dibahas masalah ibadah, akhlak….
    Udah lama ga kesini, Ian….

  4. KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum.Wr.Wb.
    Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas segala perkenaannya sehingga penyusunan Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Ulumul Hadis” yang didalamnya membahas tentang perkembangan hadis mulai dari masa Rasul SAW, sahabat dan tabi’in.
    Penulis mengharapkan semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, baik dikalangan Mahasiswa maupun dikalangan masyarakat nantinya yang diajukan sebagai bahan diskusi pada tatap muka perkuliahan. Untuk itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyusunan Makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing dan teman-teman sekelas lainnya. Dan Insya Allah apa yang berikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
    Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan Makalah ini masih banyak terdapat kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak khususnya kepada Dosen pembimbing guna untuk menyempurnakan Makalah ini dan pada akhirnya bisa bermanfaat bagi semua pembaca.
    Wasallamu ’alaikum. wr.wb

    Manado, 19 April 2007
    Penulis,

    Nuraini Ibrahim

    BAB I
    PENDAHULUAN

    Rasulullah SAW menghabiskan dua puluh tiga tahun untuk mendakwakan Islam. Menyampaikan hukum-hukum dan ajaran-ajarannya. Sehingga kepulauan Arabia dan sekitarnya telah memeluk agama Islam. Jangka waktu selama itu sekaligus merupakan periode pengajaran praktis dan sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam yang luhur yang telah merubah wajah sejarah dan mengembangkannya dengan senjata peradaban di segala aspek kehidupan.
    Menyampaikan risalah dan amanah merupakan tugas penting yang sangat berat dan penuh resiko yang hanya mampu dipikul oleh rasul-rasul yang mendidik dan mengajar beliau dengan perhatian-Nya yang bersifat ketuhanan, agar beliau mampu memangku tugas risalah dan menyampaikannya kepada umat Islam. Wahyu yang diberikannya juga ia terapkan dalam setiap perkataan, perbuatan dan taqrir beliau yang kita kenal dengan hadis. Hadis terbagi atas beberapa periode akan tetapi dalam hal ini penulis akan membahas perkembangan hadis dimasa Rasul SAW, sahabat dan tabi,in

    BAB II
    PEMBAHASAN
    A. Pengertian Hadis
    Hadis atau Al-Hadits menurut bahasa Al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru, warta, berita yang belum lagi lama dekat. Menurut istilah hadis adalah :
    a) Ahli Hadis : Segala Ucapan, perbuatan dan keadaan Rasul. Berita baik dari Nabi, Sahabat dan Tabi’in.
    b) Ahli Ushul : segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum Syara’ dan ketetapannya.
    c) Ibnu Taimiah : Segala yang diriwayatkan dari Nabi sesudah beliau menjadi Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun pekerjaan atau ikrarnya.
    d) Sebahagian Ulama : Perkataan, perbuatan, Taqrir Nabi, sahabat dan tabi’in.

    B. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis
    Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya baik dimassa lalu maupun sekarang. Karena jika kita lihat kebelakang tentunya kita akan mengetahui bagaimana Rasul menyampaikan wahyu kepada manusia lainnya.
    Pada zaman dahulu bangsa Arab itu masih menganut kepercayaan animisme. Karena faham inilah mereka menjadi bertentangan dengan agama yang dibawa oleh Rasulullah, maka pada masa kehidupan mereka dinamakan dengan masa Jahiliyah. Sesembahan mereka yang paling terkenal adalah Latta, Uzzah, Manat dan Hubal. Namun, ada juga bangsa Arab yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan Majusi. Dan hanya beberapa orang saja yang berpegang teguh pada agama Hanif, agama Nabi Ibrahim.
    Kehidupan perekonomian di gurun pasir ketika itu secara keseluruhan bergantung kepada kekayaan pengembalaan hewan ternak. Sedangkan kehidupan perekonomian di Perkotaan adalah bercocok tanam dan perniagaan. Sebelum kedatangan Islam, Makkah merupakan kota perniagaan terbesar di Jazirah Arab sebagaimana disana dijumpai kebudayaan yang sangat maju dibeberapa tempat.
    Namun sayangnya, dalam kehidupan sosial mereka telah menyebar kemana-mana. Tidak ada hal yang sedikitpun bagi kaum lemah, anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan dirampas kehormatannya, mereka memiliki banyak istri tanpa ada batasan, perzinahan merajalela, peperangan antar kabilah bisa terjadi hanya karena masalah sepele.
    Hal inilah yang terjadi sebelum nabi Muhammad SAW membawa wahyu kepada umatnya. Setelah Nabi menyebarkan Islam kebeberapa wilayah maka mulailah Nabi Muhammad SAW mengadakan pembinaan kepada masyarakat Islam, yang diusahakan dengan cara :
    1. Mendirikan Masjid
    2. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar
    3. Mengadakan perjanjian perdamaian dengan kaum Yahudi, dan
    4. Meletakan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial untuk masyarakat Islam.
    Dalam penyebaran agama Islam ini, Rasulullah hidup ditengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka dapat bertemu dan bargaul dengan Rasulullah secara bebas, tanpa menggunakan orang lain sebagai perantaranya. Akan tetapi yang tidak dibenarkan hanyalah masuk ke rumah Rasulullah ketika beliau tidak ada dirumah dan berbicara sama istri-istrinya.
    Rasulullah bergaul dengan mereka di rumah, di Masjid, di Pasar, di Jalan di dalam Safar dan di dalam Hadlar. Seluruh perbuatan Nabi baik ucapan dan tutur katanya menjadi acuan bagi para sahabat. Dan segala gerak-geriknya mereka jadikan pedoman hidup. Semua itu juga mereka tempuh dengan cara melihat dan mendengar langsung dari Nabi melalui kajian-kajian yang dilaksanakan atau disampaikan oleh Nabi.
    Menurut pertumbuhan dan perkembangannya hadis terbagi dalam beberapa periode, diantaranya hadis pada masa Rasulullah, hadis pada masa sahabat dan hadis pada masa tabi’in.
    1. Hadis Pada Masa Rasul SAW
    Membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada masa pertumbuhan yang berkaitan dengan kepribadian Nabi yang dalam hal ini sebagai sumber hadis. Dalam menerima wahyu dan hadis para sahabat juga dituntut untuk serius dan hati-hati dalam mempelajarinya karena mengingat mereka adalah pewaris pertama ajaran agama islam.
    Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan melalui perkataan, perbuatan dan penetapan Taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan dari Nabi akan menjadi bahan pedoman bagi amaliah dan ubudiah para sahabat karena melihat Rasulullah adalah satu-satunya figur yang paling sempurna dan ada hal-hal yang membedakannya dengan manusia lain sehingga mereka menjadikan Nabi sebagai Suri Tauladan dari umat islam baik sekarang maupun yang akan datang.
    a. Cara Rasul Menyampaikan Hadis
    Hadis dalam masa Rasulullah memiliki satu keistimewaan dibandingkan hadis pada masa sahabat dan pada masa tabi’in yaitu hadis pada masa Rasulullah diperoleh secara langsung dari Nabi sendiri tanpa harus ada perantara dan tanpa menggunakan Hijab. Sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi dapat disaksikan langsung oleh para sahabat.
    Allah mengutus Nabi Muhammad dan mewahyukan Al Qur’an kepadanya sebagai pedoman hidup manusia dan semua yang disampaikan Nabi merupakan wahyu bagi Umat manusia yang kita kenal sebagai Hadis dan Sunnah Nabi. Oleh karena itu, sebagi umat manusia harus mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi karena dalam setiap perkataan, perbuatan dan taqrir beliau merupakan perintah bagi kita sebagai umatnya. Allah berfirman :
    ”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. Al Najm (53) : 3-4)
    Dalam surat ini, Allah menjelaskan bahwa dalam setiap perkataan Nabi Muhammad itu adalah benar dan itu merupakan apa yang Allah perintahkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya dan itu bukanlah hasil rekayasa Nabi. Oleh karena itu para sahabat menjadikan Nabi Muhammad sebagai objek untuk mencari referensi tentang apa yang tidak mereka ketahui baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Dan hal tersebut mereka jadikan pedoman bagi kehidupan mereka dan kemudian mereka aplikasikan kedalam kehidupan mereka masing-masing. Hal ini mereka laksanakan guna untuk mencapai tingkat kesempurnaan dalam beragama. Untuk mencapai tujuan inilah Nabi dan para sahabatnya sering mengadakan pertemuan di berbagi tempat, misalnya di Masjid, dirumah Nabi, Pasar, ketika dalam perjalanan dan ketika nabi berada dirumah.
    Ditempat-tempat inilah Nabi dan para sahabatnya sering berkumpul untuk mendengarkan hadis dari Nabi yang terkadang disampaikannya melalui Musyafahah dan terkadang melalui Musyahadah.
    Menurut riwayat Bukhari Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh dikalangan para sahabat, rasulullah menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya. Ada beberapa cara Rasulullah menyampaikan hadis, yaitu :
    • Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis Al-Ilmi.
    Sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis. Oleh karena itu mareka selalu mengkonsentrasikan perhatian mereka terhadap apa-apa yang disampaikan Nabi. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti majelis ini sehingga untuk menghadirinya memerlukan pengorbanan dan kesabaran. Seperti halnya yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab dan Ibnu Zaid. Mereka berdua sewaktu-waktu bergantian hadir dalam majelis . Ketika Umar berhalangan hadir, Ia berkata :”kalau hari ini aku yang turun atau pergi pada hari yang lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya. Dan terkadang kepala-kepala suku mengutus pewakilannya yang kemudian mereka mengajarkan ilmu yang mereka peroleh kepada suku mereka sekembali dari majelis.
    • Menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu yang kemudian disampaikan kepada orang lain.
    Hal ini mungkin karena disengaja atau bahkan secara tidak sengaja yang hadir pada saat itu hanya beberapa orang saja. Dan untuk hadis-hadis yang manyangkut hubungan suami istri disampaikan kepada istri-istrinya karena melihat keadaan sahabat yang malu untuk bertanya kepada Nabi.
    • Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji Wada’ atau Futuh Makkah.
    b. Perbedaan Para Sahabat Dalam Menguasai Hadis
    Semua sahabat umumnya menerima hadis dari Nabi SAW, akan tetapi masih ada sedikit perbedaan dalam pengetahuannya. Ada yang pengetahuannya lebih dan ada juga yang sedikit. Ini diakibatkan karena beberapa hal yaitu ;
    • Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul
    • Perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
    • Perbedaan mereka kerena perbedaannya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggail dari masjid Rasul SAW.
    Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebab yaitu :
    • Yang mula-mula masuk Islam yang dinamai as sabiqunal awwalun, seperti khulafa Empat dan Abdullah Ibnu Mas’ud
    • Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh manghafalnya, seperti Abu Hurairah.
    • Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadis dari sesama sahabat, seperti Anas ibn Malik dan Abdullah Ibnu Abas.
    • Yang erat hubungannya dengan Nabi, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.
    c. Menghafal Dan Menulis Hadis
    • Menghafal Hadis
    Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi berpegang pada kekuatan hafalannya. Ini juga dilaksanakan untuk menjaga kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al Qur’an dan Hadis sebagai dua sumber utama hukum Islam. Para sahabat menerima wahyu dengan jalan hafalan bukan dengan tulisan karena sahabat Rasul yang dapat menulis hanya sedikit. Para sahabat mendengar, melihat apa yang dilakukan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi mereka pahami dengan penuh perhatian. Dan untuk menjaga kemurnian Al Qur’an Nabi memerintahkan kepada sahabatnya untuk menulis Al Qur’an sedangkan hadis hanya perlu dihafal. Ini juga untuk menjaga agar Al Qur’an tidak bercampur dengan hadis seperti dalam Riwayat Muslim :
    ﻻ ﺘﻜﺘﺒﻭﺍﻋﻨﻲ ﻭﻤﻥ ﻜﺘﺏ ﻋﻨﻲﻏﻴﺭﺍﻠﻗﺭﺁﻥ ﻔﻠﻴﺤﻪ ﻭﺤﺩﺜﻭﺍﻋﻨﻲ ﻭﻻﺤﺭﺝ ﻭﻤﻥ ﻜﺫﺏﻋﻠﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻓﻠﻴﺘﺒ ﻭﺃ ﻤﻗﻌﺩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎ ﺭ﴿ﺭﻭﺍﻩﻤﺴﻠﻡ﴾
    ”Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain Al Qur’an, barang siapa yang telah menulis dariku selain Al Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya dineraka”.(HR Muslim)
    Oleh karena itu sahabat Nabi pada saat itu tidak pernah menulis apa yang disampaikan Nabi selain Al Qur’an. Dan apa yang disampaikan oleh Nabi diingat secara sungguh-sungguh oleh para sahabatnya. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama,karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak Praislam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW banyak memberkan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, Seringkali Ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyebarkannya kepada orang lain.
    • Menulis Hadis
    Semua penulis sejarah Rasul, ulama hadits barpendapat untuk menetapkan bahwa Al-Qur’an mendapat perhatian penuh dari rasul dan dari sahabat. Adanya hadis yang di atas tadi tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadis dengan cara tidak resmi, akan tetapi dalam Riwayat HR Bukhari tertulis bahwa : Ada seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibn Amr-’Ash memiliki catatan hadis nabi yang menurut pengakuanya dibenarkan oleh Rasul SAW sehingga dinamakan dengan Al-Sahifah. Menurut suatu riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah ibn Amr, karena selalu menulis apa yang datang dari Rasul SAW, mereka barkata :”Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritik ini disampaikan kepada Rasul SAW, dan Rasul menjawabnya dengan mengatakan :
    ﺍﻜﺘﺏﻓﻭﺍﻠﺫﻯﻨﻓﺴﻲﺒﻴﺩﻩﻤﺎﻴﺤﺭﺝﻤﻨﻪﺍﻻﺍﻠﺤﻕ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯ﴾
    ”Tulislah ! demi zat yang diriku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”. (HR Bukhari).
    Hadis ini dapat dijadikan dasar tentang penulisan hadis pada massa Rasulullah SAW. Sebahagian ulama juga berpendapat bahwa larangan menulis hadis hanya ditunjukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan Al Qur’an. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan akan mencampur adukan hadis dengan Al Qur’an. Intinya mereka berpendapat bahwa tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita fahamkan, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al Qur’an, dan izin itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis Sunnah untuk dirinya sendiri. Hal ini juga dikuatkan oleh Riwayat Al Bukhari yang meriwayatkan bahwa ketika nabi dalam keadaan sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat.
    • Mempertemukan dua hadis yang bertentangan
    Dengan melihat dua kelompok hadis yang kadang-kadang bertentangan, mengundang para ulama untuk mencarikan jalan keluanya. Ada beberapa pendapat para ulama tentang penyelesaian dua hadis yang bertentangan yaitu dengan cara menggugurkan salah satunya sehingga hanya menggunakan satu hadis sebagai acuan seperti dengan jalan nasikh dan mansuk, dan ada juga para ulama yang mencoba untuk menyadupadankan dua hadis tersebut menjadi satu sehingga keduanya dapat digunakan (Ma’mul).

    2. Hadis Pada Masa Sahabat
    Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya pada masa Khulafa’Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar karena perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al Qur’an, sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang.
    a. Menjaga Pesan Rasul SAW
    Pada masa menjelang akhir hidupnya Rasulullah berpesan kepada para sahabat untuk menuliskan pesan-pesan beliau yang kemudian bisa dijadikan sebagai acuan setelah Al Qur’an. Sebagaimana beliau bersabda :
    ﺘﺭﻜﺕﻓﻴﻜﻤﺃﻤﺭﻴﻥﻠﻥﺘﻀﻠﻭﺍﻤﺎﺘﻤﺴﻜﻡﺒﻬﻤﺎﻜﺘﺎﺏﺍﷲﻭﺴﻨﺔﻨﺒﻴﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﻤﺎﻠﻙ﴾
    ”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadis)”.(HR. Malik)
    dan Nabi juga bersabda bahwa:
    ﺒﻠﻐﻭﺍﻋﻨﻲﻭﻠﻭﺁﻴﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯ﴾
    Pesan-pesan Rasul sangat berpengaruh bagi kehidupan para sahabat oleh karena itu mereka selalu memberikan perhatian penuh terhadap apa-apa pesan yang ditinggalkan Nabi dan itu semua mereka aplikasikan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari baik itu berupa perkataan perbuatan maupun taqrir dari Nabi. Dengan demikian pesan yang tinggalkan nabi dapat terpelihara dengan dengan baik.
    b. Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Dan Menerima Hadis
    Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan Hadis Rasul SAW. Karena khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena takut ada kesalahan masuk kedalam sunah.padahal sunah merupakan sumberhukum islam pertama sesudah Al-Qur’an .dan kerena itu mereka selalu menempuh setiap jalu yang bisa menjaga hadis tetap berjaya. Dalam meriwayatkan hadis para sahabat sngat berhati-hati dan selalu membatasi diri karena lasan menghormatinya, bukankarena enggan terhadapnya. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan hadis dan penerimaan hadis. Hal ini dapat kita lihat dari sikap mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis, seperti Umar ibn Alkhathab dikenal sangat membenci orang yang memperbanyak meriwayatkan hadis.sahabat lain juga ada yang menempuh jalur yang seperti itu. Mereka tidak akan meriwayatkan hadis kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan bila telah meriwayatkan hadis, mereka akan sangat teliti dalam menempuhnya. Biasanya seusai meriwayatkan hadis. Mereka akan mengatakan : ﻨﺤﻮﻫﺫ (seperti ini), ﺃﻮﻛﻣﺎﻗﺎﻞ (atau seperti yang disabdakan Rasul SAW) atau kata-kata lain yang sejenis. Kemudian, para sahabat juga suka meminta diajukan kesaksian ketika ada orang yang mau meriwyatkan hadis.
    Perlu dijelaskan bahwa pada masa ini belum ada upaya secara resmi untuk menghimpun hadis dalam satu kitab, seperti halnya Al Qur’an. Hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhusuan mereka (umat Islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar di berbagai daerah Islam untuk melakukan pembinaan, sehingga untuk mengumpulkan para sahabat sangat sulit selain itu sering terjadi perbedaan pendapat tentang lafaz dan makna hadis serta kesahihannya.
    c. Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna
    Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis yang ditunjukan oleh para sahabat, dengan sikap kehati-hatiannya bukan berarti hadis Rasul tidak diriwayatkan. Hadis-hadis tersebut tetap diriwayatkan, khususnya hadis yang berkaian dengan kehidupan masyarakat sehari-hari seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Ada dua jalan dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW yaitu dengan jalan periwayatan Lafzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW) dan kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
    • Periwayatan Lafzi
    Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa periwayatan lafzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya persis seperti apa yang disampaikan Rasul dan ini hanya bisa diriwayatkan oleh para sahabat apabila mereka hafal benar apa yang telah disabdakan Rasul.
    Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadis dengan jalan ini. Mereka berupaya agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi yang telah disampaikan Rasul bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ’Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya para shabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti.begitupula tidak bioleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul dibelakang atau sebalknya atau merinankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umat Kahathab pernah berkata :
    ”Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasu SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar, orang itu selamat”.
    • Periwayatan Maknawi
    Di antara para sahabat lainnya yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan Maknawi artinya periwayatan yang redaksinya tidak persis sama dengan apa yang didengar dari Rasul SAW, akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
    Karateristik yang paling menonjol para era sahabat ini adalah bahwa para sahabat neniliki komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharnya dalm lembaran-lembaran mushaf dan dalam hati mereka. Kehati-hatian terhadap Al-Kitab ini juga diberlakukan sunnah meskipun disatu sisi ada larangan dari Nabi SAW untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kemurnian kedua-duanya. Setelah Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu Suhuf, mereka baru berani menuliskan hadis.

    3. Hadis Pada Masa Tabi’in
    Pada dasarnya periwayatan pada masa Tabi’in tidak berbeda dengan periwayatan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai guru mereka. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Para Tabi’an belajar meriwayatkan hadis dari para sahabat yang pada saat itu menjadi pembina dari wilayah-wilayah islam.
    Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam sampai meliputi mesir, Persia, Iraq, Afrika selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Makkah, Basrah< Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat kedaerah-daerah tersebut terus meningkatsehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarkan periwayatan hadis (instisyar al-riwayah ila al-amshar).
    Dalam menyebarkan periwayatan hadis para sahabat dan Tabi’an selalu memperhatikan segala hal yang dapat menghilangkan nilai-nilai kemurnin hadis. Langkah-langkah mengagumkan yang dilakukan dari para Sahabat dan Tabi’in yang dalam pendidikn modern dikenal sebagai dasar-dasar pendidikan yang terpenting. Antara lain :
    a. Memperhatikan kondisi para penuntut hadis
    Para sahabat dan Tabi’in sangat memperhatikan kondisi dari para siswa. Mereka tidak akan memberikan suatu hadis , kecuali sesuai dengan daya tangkap para siswa. Mereka memberkan penjelasan hadits dan keterangan mengenai hubungan antara hadis, sehingga para siswa dapat menangkap hadis yang mereka berikan.
    b. Menyampaikan hadis kepada yang pantas menerimanya.
    Di samping memperhatikan kondisi para periwayat, sahabat dan Tabi’in juga antusias memberikan hadis kepada ahlinya dan para penuntutnya, tidak memberikannya kepada orang-orang dungu dan para pengumbar nafsu. Mereka berusaha keras agar yang menghadiri majelis hanyalah para penunut ilmu. Dalam hal ini, Az-Zuhriy berkata : ”Cacatnya (hadis) adalah bila ia tersebar di kalangan mereka yang bukan ahlinya”. Al-’Amasy juga berpendapat bahwa meriwayatkan hadis kepada yang bukan ahlinya adalah menyia-nyiakannya”. bahkan sering beliau mengatakan : ”Janganlah kalian sebar mutiara di hadapan kuku-kuku bagi, yakni hadis”. Maksudnya jangan kalian berikan hadis kepada yang bukan ahlinya.
    c. Menuntut Hadis setelah Al Qur’an
    Satu hal yang sangat jelas adalah bahwa kaum muslimin sangat menginginkan kitabullah , menjaga, mengkaji, membaca, memahami dan menafsirkannya. Para ahli hadis juga berpendapat bahwa tidak sepantasnya seseorang mempelajari hadis, kecuali setelah belajar membaca Al Qur’an dan menghafalnya, sebagian maupun keseluruhan. Kemudian ia baru diperkenankan mulai mendengarkan hadis dan menulisnya dari para guru.
    d. Menghindari ahli munkar
    Para sahabat dan tabi’in sangat mengkhawatirkan masuknya hadis-hadis yang masih meragukan dan hadis-hadis dha’if. Mereka melarang meriwayatkanya dan menghendaki kecermatan dalam melakukan periwayatan. Mereka lebih menganjurkan meriwayatkan hadis-hadis Ma’ruf dan menyebarkannya dikalangan penuntut ilmu, lebih-lebih para pendatang baru.
    e. Menghormati dan Mengagungkan hadis Rasul SAW
    Para sahabat dan tabi’in selalu berpegang kepada sunnah Rasul dan selalu mendahulukannya setelah Al Qur’an. Mereka tidak akan menerima ra’yu bersama sunnah, meski bagaimanapun kualitasnya dan juga kualitas pencetusnya. Di samping berpegang teguh kepada sunnah mereka juga memuliakan majlis-majlis hadis dan menghormati para penghafal hadis. Baik para guru maupun para murid beretika dengan hadits Rasul SAW.
    f. Mempelajari hadis secara berulang-ulang

    KESIMPULAN

    Hadis pada masa rasul diperoleh secara langsung tanpa harus ada ketentuan protokol baik hijab maupun perantara orang lain yang bisa menghalangi para sahabat bergaul dengan beliau, yang tidak dibenarkan hanyalah jika mereka langsung masuk kerumah ketika nabi tidak ada dirumah dan berbicara dengan para istri Nabi. Penyebaran hadis pada masa ini dilakukan di berbagai tempat, seperti di rumah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar, dan di dalam hadlar yang dilakukan secara bertahap baik disampaikan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. pada masa rasul umat islam sudah berjumlah sekitar seratus juta jiwa.
    Hadis pada masa sahabat dan tabi’in hampir sama dengan masa rasul hanya yang membedakannya adalah pada masa ini rasul telah wafat dan hanya meninggalkan dua perkara yaitu sunah dan al hadits. Penyebaran hadis pada masa ini dilakukan secara hati-hati guna untuk menjaga hadis agar tidak bercampur dengan hadis palsu karena begitu benyak orang yang menginginkan kehancuran islam. Banyak uapaya yang dilakukan para sahabat dan tabi’n diantaranya dalam para sahabat dan tabi’in sangat berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan hadis kemudian pada saat mereka menemukan situasi yang sangat mendesak mereka berusaha menjaganya dengan bentuk tulisan. Penyebaran ini dilakukan di tempat-tembat yang baik seperti pada tempat-tempat yang sering ditempati rasul saat mengajarkan para sahabat. Penyampaian yang mereka lakukan dilaksanakan berdasarkan konsep dasar-dasar pendidikan seperti : para sahabat selalu memperhatikan kondisi dari para penuntut hadis, mereka menyampaikan hadis kepada orang yang pantas menerimanya, menuntut hadis setelah Al Quar’an al-karim, dalam menyampaikan mereka memberikan variasi untuk menghindari kejenuhan dan mempelajari hadis secara berulang. Pada masa ini sudah banyak wilayah kekuasaan islam sehingga para sahabat menjadi terpisah-pisah karana merekalah orang yang akan melakukan penyampaian hadis kepada para penuntut hadis dari berbagai wilayah. Banyak sahabat yang menerima hadis dari rasul sehingga menimbulkan perselisihan dalam penafsiran dan periwayatan hadis, meskipun arah dan tujuannya tetap sama.

    DAFTAR PUSTAKA

     Suparta Munzier, Ilmu Hadis, Rajawali Pers, Cet ke-1, Jakarta, 1993
     Muhammad Teungku, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, PT Pustaka Rizki Putra, Edisi ke-2, Cet-1,Semarang 1997
     Ahnan Maftuh, Kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW Rahmatan Lil Aalamiin, Terbit Terang, Surabaya, 2001
     Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Cet-1, Jakarta, 1998.

Leave a reply to krupukcair Cancel reply